Manajemen Pengetahuan: Perspektif Pustakawan

Pendahuluan

Manajemen Pengetahuan (MP) dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi suatu isu hangat bagi para profesional informasi dan perpustakaan. Banyak praktisi dari berbagai disiplin bersekutu dalam merangkul disiplin baru ini (Srikantaiah 2000, 1). Tingkat ketertarikan, pandangan, dan interpretasi mereka tentang MP tergantung pada lingkungannya yang mereka refleksikan dalam berbagai literatur. MP didefinisikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Shouton and Todd (2001) menyatakan bahwa definisi MP masih terbuka dan adakalanya sangat problematis. Bahkan sejumlah penulis memandang bahwa MP masih merupakan suatu bidang yang sulit untuk diimplementasikan, yang masih memerlukan ekplorasi dan pengembangan yang signifikan.

Konsep MP berasal dan berkembang di dunia bisnis. Sebagai suatu konsep, MP diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki pengoperasian perusahaan dalam rangka meraih keuntungan kompetitif dan meningkatkan laba. MP digunakan untuk memperbaiki komunikasi di antara manajemen puncak dan di antara para pekerja untuk memperbaiki proses kerja, menanamkan budaya berbagi pengetahuan, dan untuk mempromosikan dan mengimplementasikan sistem penghargaan berbasis kinerja (Teng and Hawamdeh 2002). MP kemudian juga dikembangkan dan diterapkan pada organisasi nirlaba seperti institusi pemerintah dan organisasi badan hukum lainnya. Di lingkungan perpustakaan, MP dipersepsikan mampu meningkatkan peran pustakawan secara substansial untuk mendukung program institusi induknya.

Perkembangan teknologi informasi khususnya internet yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, membuat perilaku masyarakat pencari informasi mengalami banyak perubahan dan penyesuaian (Leng 2004). Sumber daya elektronik yang tersedia melalui internet menjadi sasaran pertama bagi para pencari informasi. Perpustakaan, yang secara tradisional merupakan penyedia utama sumberdaya informasi, dihadapkan pada tantangan baru untuk menyediakan informasi yang relevan dan tepat waktu serta berasal dari banyak sumber. Dengan kata lain, perpustakaan ditantang untuk menyediakan seluruh spektrum informasi, tidak hanya terbatas pada pengetahuan eksplisit seperti yang telah dilakukannya selama ini. Pustakawan perlu mengeksplorasi konsep MP untuk diterapkan di lingkungan kerja perpustakaan untuk memenuhi tantangan baru tersebut.

Tulisan ini mencoba mengeksplorasi fenomena MP, apa sesungguhnya MP tersebut, apa kaitannya dengan disiplin lain, bagaimana persepsi pustakawan tentang MP, dan bagaimana kemungkinan konsep MP diimplementasikan di lingkungan kerja perpustakaan. Sesuai dengan latar belakang profesi penulis yang bekerja di bidang pendidikan tinggi, maka contoh muatan MP yang disajikan adalah dalam bidang manajemen informasi dan pengetahuan di bidang akademik.

Konsepsi Informasi dan Pengetahuan

Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang fenomena MP dan peran perpustakaan dalam mengakomodasi tantangan baru berkaitan dengan MP, kiranya perlu dilakukan terlebih dahulu klarifikasi tentang apa sesungguhnya MP tersebut. Di dalam berbagai literatur, terutama pada awal berkembangnya pemanfaatan internet pada tahun 1990an, yang menjadi pendorong utama berkembangnya penerapan MP, banyak diperdebatkan tentang definisi MP. Seperti telah disebutkan sebelumnya, hingga saat ini definisi MP masih beragam di antara para penulis. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sulitnya untuk membedakan secara tegas antara informasi dan pengetahuan.

Informasi adalah pengetahuan yang disajikan kepada seseorang dalam bentuk yang dapat dipahami; atau data yang telah diproses atau ditata untuk menyajikan fakta yang mengandung arti (Collin 1987). Sedangkan pengetahuan berasal dari informasi yang relevan yang diserap dan dipadukan dalam pikiran seseorang. Dengan kata lain, pengetahuan berkaitan dengan apa yang diketahui dan dipahami oleh seseorang. Informasi cenderung nyata, sedangkan pengetahuan adalah informasi yang diinterpretasikan dan diintegrasikan (Koina 2004).

Pengetahuan adakalanya dikategorikan sebagai terstruktur, tidak terstruktur, eksplisit atau implisit (Kim 2000). Jika pengetahuan diorganisasikan dan mudah didiseminasikan disebut pengetahuan terstruktur. Pengetahuan yang tidak terstruktur dan dipahami, tetapi tidak dengan jelas dinyatakan adalah pengetahuan implisit. Pengetahuan implisit juga disebut tacit (dipahami tanpa dikatakan), yaitu keahlian dan pengalaman pekerja yang belum didokumentasikan secara formal (Laudon and Laudon 2002, 373). Untuk mengkonversi pengetahuan implisit ke dalam pengetahuan eksplisit, pengetahuan tersebut harus diekstraksi dan diformat.

Pengertian Manajemen Pengetahuan

Tema utama sejumlah penulis dalam berbagai literatur tentang MP adalah perihal kekaburan konsep manajemen informasi (MI) dan MP. Sejumlah profesional informasi dan perpustakaan yang disurvai oleh Shouton dan Todd (2001), menganggap bahwa MP sederhana adalah ”MI dengan jubah baru” atau ”perluasan MI” atau ”MI yang diberi label menggairahkan”. Pustakawan masih percaya bahwa MP adalah pengelolaan informasi dan pengetahuan eksplisit atau terdokumentasi yang telah mereka lakukan sejak dulu (Koina 2004). Chun (1995) mengatakan bahwa MI konsentrasi pada informasi formal, terstruktur, data internal, meninggalkan informasi informal, tidak terstruktur, dan eksternal yang dibutuhkan oleh banyak para pengambil keputusan.

Shouton danTodd (2001) lebih lanjut mengatakan bahwa terdapat perbedaan karakteristik di antara keduanya. MI digambarkan sebagai istilah yang bersifat teknis dan berorientasi pada pelayanan seperti: pengorganisasian informasi, proses dan sistem, akses terhadap informasi dan penyediaan informasi, serta temu-balik – suatu prakarsa yang dilakukan oleh organisasi. Sebaliknya, MP digambarkan sebagai istilah yang memiliki karakteristik yang berpusat pada manusia: berbagi pengetahuan, pemahaman, modal intelektual, interaksi, enabling people, dan penggunaan – suatu prakarsa yang menyangkut manusia di dalam organisasi.

Di sisi lain, banyak penulis yang menyarankan agar pemisahan menyeluruh antara MI dan MP harus dihindarkan. Mereka mengatakan bahwa MI yang efektif adalah penting bagi MP. Penekanan pada nilai pengetahuan tacit sebagai upaya besar yang tidak sukses dilakukan sejak 1980an oleh mereka yang bergerak di bidang Kecerdasan Buatan dan Sistem Pakar untuk mengkodifikasi pengalaman dan keahlian pekerja. Persoalannya adalah bagaimana keahlian, pengalaman dan persepsi seseorang dapat ditransformasikan ke dalam pengetahuan yang dapat dibagi kepada orang lain untuk kepentingan organisasi. Sejumlah penulis juga sependapat bahwa pengetahuan tacit adalah sangat sulit atau bahkan tidak mungkin untuk diakses, dan mengelola pengetahuan sesungguhnya adalah mengelola pengetahuan eksplisit.

Walaupun definisi MP sangat beragam, tetapi pada umumnya menekankan pada pembedaannya dari manajemen informasi (Shouton dan Todd 2001). Definisi yang dibuat oleh Garner Group (Koina 2004), dapat dijadikan sebagai panduan dasar. MP didefinisikan sebagai suatu disiplin yang mempromosikan suatu pendekatan terintegrasi terhadap pengidentifikasian, pengelolaan dan pendistribusian semua aset informasi suatu organisasi. Selanjutnya disebutkan bahwa informasi yang dimaksud meliputi database, dokumen, kebijakan dan prosedur dan juga keahlian dan pengalaman yang sebelumnya tidak terartikulasi yang terdapat pada pekerja perorangan. Saffady (2004, 21) menyebutkan bahwa prakarsa MP menekankan pada nilai modal intelektual suatu organisasi termasuk: temuan baru, paten, rahasia dagang, formulasi produk, kecerdasan pelanggan, dan proses bisnis yang mapan. MP berkaitan dengan pengetahuan eksplisit, yang dikodifikasi dalam dokumen dan database, dan pengetahuan implisit, yang berwujud dalam pendidikan dan keterampilan pekerja.

Laudon and Laudon (2002, 372-3) menyatakan bahwa MP berfungsi meningkatkan kemampuan organisasi untuk belajar dari lingkungannya dan menggabungkan pengetahuan ke dalam proses bisnis. MP adalah serangkaian proses yang dikembangkan di dalam suatu organisasi untuk menciptakan, mengumpulkan, memelihara dan mendiseminasikan pengetahuan organisasi tersebut. Teknologi informasi memainkan peranan penting dalam MP sebagai pemungkin proses bisnis yang bertujuan untuk menciptakan, menyimpan, memelihara dan mendiseminasikan pengetahuan. Perusahaan tidak dapat mengambil manfaat dari sumber daya pengetahuan jika organisasi tersebut memiliki proses yang tidak efisien dalam pemerolehan dan pendistribusian pengetahuan atau jika organisasi tersebut gagal mengapresiasi nilai pengetahuan yang dimilikinya.

MP juga memiliki hubungan erat dengan manajemen rekod (MR). Dari perspektif MP, informasi terekam adalah suatu perwujudan penting modal intelektual suatu organisasi. Informasi terekam adalah manifestasi utama pengetahuan eksplisit, yang diinternalisasikan dalam dokumen dan tempat penyimpanan data. Konsep dan aktifitas MR melengkapi dan mempromosikan MP. Dengan melakukan pengawasan sistematis terhadap siklus hidup informasi terekam, MR membuka jalan bagi MP. Prakarsa MP yang berhasil, merupakan persyaratan dan memperkokoh kepentingan stratejik dan operasional kebijakan dan prosedur MR yang efektif (Saffady 2004, 21).

Persepsi Pustakawan terhadap Manajemen Pengetahuan

Penelitian yang dilakukan oleh McManus dan Loughridge (2002) terhadap sejumlah profesional informasi senior yang bekerja di lingkungan akademik di Inggris, mengungkapkan antara lain: MP adalah terminologi yang digunakan secara longgar sehingga kita harus mendefinisikannya untuk apa kita inginkan; MP adalah suatu proses perubahan organisasional yang berkaitan dengan pengetahuan yang selama ini tidak tercakup di dalam organisasi termasuk pemerolehan, transformasi, dan pendistribusiannya; dan MP perlu dihubungkan dengan MI karena MP yang mencakup pengetahuan tacit tidak dapat dikelola tanpa MI.

Southon dan Todd (2001) yang melakukan penelitian terhadap profesional informasi dan perpustakaan di Australia menemukan antara lain: MP adalah penamaan ulang MI; MP merupakan program yang luas, di mana MI hanya merupakan salah satu bagiannya; MP adalah suatu fenomena yang miskin definisi dan problematis. Selanjutnya MP dipersepsikan oleh responden sebagai suatu isu yang kompleks dan sulit, termasuk antara lain bahwa: MP berkaitan dengan pengalaman organisasional dan pengetahuan tentang pelanggan, pasar dan proses, dan koordinasi organisasional; MP berbasis pada manusia dan hubungan, pertukaran pemahaman, dan suatu budaya berbagi pengetahuan; adanya perhatian terhadap nilai pengetahuan bagi pengguna dan organisasi secara luas; MP menyangkut pemrosesan informasi yang lebih canggih; dan dalam MP teknologi memainkan peranan yang penting tetapi problematis.

Dalam lingkungan akademik, Stoffle (1996) menyatakan bahwa MP harus dilihat sebagai fungsi utama perpustakaan perguruan tinggi (PT). Dalam komunikasi ilmiah dan proses penyampaian informasi harus diberi nilai tambah dengan mengorganisasikan pengetahuan yang diciptakan dan dikemas di luar perpustakaan. Jika di lingkungan bisnis, MP berfungsi sebagai suatu upaya untuk mengubah budaya korporasi atau organisasi; maka di lingkungan PT, MP dipandang sebagai cara efektif dalam pengorganisasian dan penyediaan informasi dan pengetahuan bagi para sivitas akademika.

Dengan mempublikasikan pengetahuan yang diciptakan di lingkungan PT secara elektronik, yang selama ini tergolong ”kelabu”, perpustakaan dapat memberikan nilai tambah bagi PT induknya. Perpustakaan harus dijadikan sebagai penerbit pengetahuan bagi masyarakat akademik. Marshal (1997) menyebutkan bahwa pustakawan adalah fasilitator utama dalam berbagi pengetahuan, dengan menciptakan budaya dan memelihara infrastruktur yang diperlukan untuk pengoperasian MP. Pustakawan harus berperan secara substansial sebagai bagian integral proses pendidikan dan penelitian yang menjadi program utama PT induknya.

Penerapan Manajemen Pengetahuan pada Perpustakaan

Terlepas dari beragamnya definisi tentang MP, pustakawan harus mampu mengambil manfaat dari konsep MP dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja perpustakaan. MP dapat dijadikan sebagai pemicu agar pustakawan lebih inovatif dan kreatif dalam menyiasati cakupan muatan elektronik yang harus dicakup dalam konsep perpustakaan elektronik yang telah dikembangkannya selama ini. Masih banyak muatan pengetahuan eksplisit yang belum tersedia dalam bentuk elektronik yang sesungguhnya dibutuhkan oleh para pengguna perpustakaan. Pustakawan juga harus berupaya mengidentifikasi pengetahuan implisit dan mengembangkan sistem yang diperlukan untuk menanganinya. Walaupun hal yang disebutkan terakhir bukan pekerjaan yang mudah, tetapi prakarsa ke arah itu harus ditumbuhkan dan sedapat mungkin diimplementasikan.

Seperti telah disebutkan di atas, MP di lingkungan perpustakaan dapat dikembangkan dan diimplementasikan sebagai perluasan prakarsa perpustakaan elektronik. Bagi perpustakaan yang telah mengembangkan perpustakaan elektronik selama ini, yang diperlukan adalah mengintegrasikan konsep MP dalam hal pemerolehan, pengorganisasian, pemeliharaan, dan pendistribusian pengetahuan termasuk pengetahuan informal, tidak terstruktur, dan eksternal yang menyangkut lembaga induknya. Perpustakaan yang belum memiliki perpustakaan elektronik harus mulai mengembangkannya kalau masih tetap ingin dipandang sebagai penyedia informasi dan pengetahuan yang utama.

Untuk itu, berbagai perangkat pendukung yang diperlukan harus dipersiapkan termasuk organisasi dan kebijakan yang harus ditetapkan pada tingkat institusi induk perpustakaan. Di dalam organisasi perpustakaan harus terdapat satu bagian atau satu tim yang menangani pengorganisasian dan penyediaan pelayanan MP. Bagian atau tim ini sebaiknya diintegrasikan dengan pelayanan perpustakaan elektronik dengan cakupan muatan yang lebih luas tidak hanya terbatas pada proses pendigitalisasian dokumen cetak yang diterima oleh perpustakaan. Dengan suatu kebijakan organisasi induk, sejumlah naskah elektronik dari berbagai jenis dokumen, yang selama ini tergolong kelabu, dapat mengalir ke perpustakaan dan dapat segera dimuat pada situs web seperti yang telah dilakukan oleh sejumlah perpustakaan selama ini.

Selain itu, perpustakaan harus aktif mengidentifikasi berbagai pengetahuan yang diciptakan di lingkungannya baik yang merupakan karya perorangan/kelompok maupun karya institusional. Di lingkungan PT, karya perorangan/kelompok termasuk antara lain: disertasi dan tesis; pidato pengukuhan guru besar; makalah, baik yang dipresentasikan dalam suatu pertemuan ilmiah maupun yang ditulis untuk didokumentasikan di perpustakaan; handout kuliah; artikel jurnal yang diterbitkan di lingkungan PT sendiri; laporan penelitian; laporan pengabdian kepada masyarakat; artikel surat kabar, bulletin dan laporan berkala internal; monograf atau buku karya dosen; dan proposal penelitian.

Karya institusional termasuk antara lain: anggaran dasar, anggaran rumah tangga atau statuta PT; kebijakan umum penyelenggaraan PT; kebijakan akademik; rencana strategis; rencana operasional; rencana tahunan dan anggaran; peraturan perilaku dosen dan mahasiswa; kebijakan dan standar mutu pendidikan dan organisasi; profil PT dan unit-unit akademik dan non akademik; sejarah dan kronologi peristiwa penting PT; kurikulum dan silabus; garis-garis besar program pengajaran dan satuan acara perkuliahan; notulen rapat Senat Akademik; laporan tahunan; laporan audit akademik dan keuangan; peraturan akademik dan non akademik; prospektus; panduan program; dokumen yang menyangkut kepegawaian; modul kuliah; profil kepakaran; dan berbagai jenis panduan. Selain karya internal yang disebutkan di atas, muatan yang harus dicakup juga termasuk karya eksternal yang menyangkut aktifitas institusi seperti peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun daerah.

Di lingkungan dunia akademik, banyak institusi pendidikan tinggi yang melakukan transformasi dalam berbagai aspek termasuk transformasi organisasi sebagai respons terhadap perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Di bidang organisasi misalnya, banyak PT yang menggabungkan organisasi perpustakaan dan pusat sistem informasi seperti yang sedang dikembangkan di Universitas Sumatera Utara saat ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan koordinasi yang berkaitan dengan penyediaan sumber daya informasi dan pengetahuan baik akademik maupun administratif bagi sivitas akademika. Di beberapa PT kedua unit tersebut tidak digabungkan tetapi, pimpinan perpustakaan diangkat sebagai koordinator dengan kedudukan setara dengan wakil rektor seperti yang dilakukan oleh UCLA di Amerika Serikat. Contoh PT yang menggabungkan keduanya adalah UWA di Inggris, dengan label baru pelayanan informasi dimana pustakawan universitas dan pimpinan pusat teknologi informasi ditunjuk masing-masing sebagai direktur dan wakil direktur.

Kesimpulan

MP menyajikan suatu perubahan yang berfokus pada pengembangan dan penggunaan pengetahuan dan informasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas suatu organisasi. MP menawarkan suatu peluang bagi profesional informasi dan perpustakaan untuk menjadikan diri mereka relevan terhadap organisasi induknya melampaui apa yang telah mereka lakukan selama ini. Walaupun masih banyak masalah di sekitar MP, tetapi konsep yang ditawarkannya dapat dijadikan sebagai titik tolak bagi pustakawan untuk lebih berperan secara substansial dalam menyediakan seluruh spektrum pelayanan informasi dan pengetahuan bagi pengguna perpustakaan. Pustakawan harus segera mengambil prakarsa untuk mengeksplorasi potensi informasi dan pengetahuan yang terdapat di lingkungannya masing-masing dan mengembangkan sistem untuk penanganannya, termasuk penyiapan sumber daya manusia, organisasi, infrastruktur teknologi informasi, dan infrastruktur hukum yang diperlukan untuk itu.

Rujukan

Chun, Wei Choo. 1995. Information management for the intelligent organization: Roles and implication for the information professions. In Information management for the intelegent organization. Information Technology Today.
Collin, S. M. H. 1987. Dictionary of information technology. Teddington: Peter Collin Publishing.
Kim, Seonghee. 2000. The roles of knowledge professionals for knowledge management. INSPEL, 34.
Koina, Cathie. 2004. Librarians are the ultimate knowledge managers? . (06/05/2005).
Laudon, Kenneth C. and Jane P. Laudon. 2002. Management information systems: Managing the digital firm, 7th ed. New Jersey: Prentice-Hall.
McManus, Damien and Brendan Loughridge. 2002. Corporate information, institutional culture and knowledge management: a UK university library perspective. New Library World; 103, 9.
Shaffady, William. 2004. Records and Information Management: Fundamentals of Professional Practice. Lenexa: ARMA International.
Shouton, Gray and Ross Todd. 2004. Library and information professionals and knowledge management: conceptions, challenges and conflicts. . (03/05/2005).
Srikantaiah, T. Kanti. 2000. An introduction to knowledge management. In Knowledge Management: For the information professional. New Jersey: Information Today.
Stoffle, Carla J. 1966. The emergence of education and knowledge management as major functions of the digital library. Follet Lecture Series, UKOLN.
Teng, Sharon and Suliman Hawamdeh. 2002. Knowledge management in public libraries. Aslib Proceedings; 54: 3.

This entry was posted in LIS Articles and tagged , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment